PEMBAGIAN DAN TOKOH- TOKOH BESERTA PEMIKIRAN TASAWUF

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara penganut agama islam terbanyak di dunia. Hal ini dibuktikan dengan jumlah penduduk muslim sebesar 85 % dari total penduduk indonesia. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin megajarkan kepada umatnya untuk selalu berbuat kebaikan. Namun, pada kenyataannya banyak sekali kejahatan yang dilakukan manusia seperti pencurian, pembunuhan, penganiyaan, dan sebagainya. Hal ini bertentangan dengan ajaran islam sesungguhnya.
Faktor terbesar yang mempengaruhi perilaku tersebut adalah kurang kedekatan batin antara mahluk dan penciptanya. Akibatnya hati menjadi kotor dan selalu ingin berbuat kerusakan di muka bumi. Ilmu yang mempelajari tentang bagaimana hendak membersihkan atau memurnikan roh (hati) atau nafsu.Agar dari dorongan hati yang bersih itu, dapat membersihkan pula anggota lahir darpada melakukan kemungkaran dan kesalahan. Oleh karena itu, ilmu tasawuf adalah ilmu mengenai cara-cara membesihkan lahir dan batin dari dosa dan kesalahan.
Hakekat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebutkan Alquran dan Hadits. "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil." Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadah ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan Ruhnya dengan Ruh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf. Dengan demikian, untuk memperdalam ilmu tasawuf, maka perlu dipelajari tentang pembagian tasawuf, tokoh-tokoh dan pemikirannya.
1.2.Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah
·         Bagaimana pembagian tasawuf dalam islam ?
·         Bagaimana tokoh-tokoh dan pemikiran tasawuf ?
1.3.Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah
·         Untuk mengetahui pembagian tasawuf dalam islam
·         Untuk mengetahui tokoh-tokoh dan pemikiran tasawuf

BAB II
ISI
2.1. Pembagian Tasawuf
Secara umum para ahli tasawuf membagi tasawuf menjadi 3 (Tiga) macam : tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Ketiga jenis tasawuf tersebut pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin “mendekatkan diri kepada Allah” dengan cara membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghiasinya dengan perbuatan terpuji. Namun ketiga jenis tasawuf tersebut mempunyai perbedaan dalam penerapan “pendekatan” yang di gunakan.[1]
Pendekatan-pendekatan dari masing-masing jenis tasawuf, sekaligus merupakan spesifikasi dan ajaran inti masing-masing jenis tasawuf tersebut. Para tasawuf yang bercorak akhlaki, pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “moral” ( teori-teori  أخلاق الكريمة ) atau biasa di sebut pencerdasan emosi.
Untuk tasawuf yang bercorak falsafi, maka pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “rasio” memberdayakan akal pikiran yang biasa di sebut pencerdasan inteligen. Sedangkan tasawuf yang bercorak amali, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan “amaliah”, memperbanyak aktifitas yang bersifat rohani yang biasa disebut pencerdasan spiritual.
Ketiga bentuk corak tasawuf itu merupakan perwujudan untuk meng-Esakan Tuhan secara mutlak, dan itu berarti kita harus menyadari bahwa meng-Esakan dan memahami Tuhan tidak bisa di jangkau atau didekati hanya dengan rasio atau akal semata, tetapi memahami Tuhan harus dibantu dengan pendekatan moral atau emosi dan spiritual yang keduanya itu bertempat dalam hati sebagai tempatnya iman bersemayam.[2]  
Berikut adalah ajaran inti tasawuf  yang dikemukakan menurut pembagian tasawuf itu sendiri, yakni:

A. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.[3]
Taswuf Akhlaki ialah ajaran tasawuf yang berhubungan dengan pendidikan mental dan pembinaan serta pengembangan moral agar seseorang berbudi luhur atau berakhlak mulia. Dari pengertian tersebut, maka menurut pandangan orang-orang sufi yang menganut aliran tasawuf akhlaki sebagai berikut :
a.       Bahwa satu-satunya cara untuk bisa mengantar seseorang agar bisa dekat dengan Allah SWT. hanyalah dengan jalan “mensucikan jiwa”.
b.      Bahwa untuk mencapai kesucian jiwa tersebut diperlukan “latihan mental” yaitu al-riyadhah yang ketat. Riyadhah tersebut wujudnya adalah “mengontrol” sikap dan tingkah laku secara ketat agar terbentuk pribadi yang berahklak mulia.
c.       Bahwa latihan mental tersebut bertujuan untuk mengontrol dan mengendalikan nafsu, seperti godaan-godaan yang sifatnya duniawi.
d.      Bahwa pengendalian nafsu di perlukan, sebab nafsu diabggap sebagai penghalang atau tabir antara manusia dengan Tuhan.
e.       Bahwa untuk membuka tabir tersebut agar manusia dapat dekat dengan Allah SWT. Maka para sufi membuat suatu sistematika pendekatan takhalli (mengosongkan)dan tahalli (mengisi).[4]
Dalam buku Pengantar Studi Islam, HM Amin Syukur (2000: 164) menerangkan masing-masing kelompok tasawuf tersebut. Tasawuf akhlaqiy adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ktat. Guna mencapai kebahagaiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri kebutuhan melalui pensucian jiwa raga yang berlua dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf biasa dikenal dengan takhalliy (pengosongan)
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1.Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2.Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap,\perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3.Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[5]
            B. Tasawuf Amali
Dalam buku Pengantar Studi Islam, HM Amin Syukur (2000: 164) menerangkan bahwa tasawuf amaliy adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dan pengertian ini, tasawuf amaliy berkonotasi thariqah, dimana dalam thariqah dibedakan antara kemampuan sufi yang satu daripada yang lain.
            Tasawuf amali yaitu ajaran tasawuf yang mementingkan pengalaman-pengalaman ibadah baik secara lahiriah maupun batiniah. Tasawuf amali di anggap oleh sebahagian sufi sebagai bagian dan lanjutan dari taswuf akhlaki. Menurut sufi yang menganutnya bahwa untuk dekat dengan Allah SWT. Maka seseorang harus menggunakan pendekatan amaliah dalam bentuk memperbanyak aktifitas, amalan lahir dan batin.[6]
            Oleh karena itu menurut sufi, ajaran agama juga mengandung aspek lahiriah dan batiniah, maka cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir dan batin. Kedua aspek ini di bagi menjadi empat bagian.
a.      Syariah yaitu undang-undang, aturan-aturan, hukum Tuhan atau ketentuan tentang halal, haram, wajib dan sunnah hal ini menyangkut aspek lahiriah (eksoterik).Syariah menurut sufi adalah amalan-amalan lahir yang fardukan dalam agama yang biasanya dikenal sebagai “rukun Islam” yang sumbernya dari Al-Qur’an dan sunnah. Amalan tersebut bukan hanya yang sifatnya wajib tetapi semua sunnah, yang di amalkan dengan penuh keikhlasan sehingga di tetapkanlah cara-caranya waktunya dan jumlahnya. Oleh karena itu, sufi yang meninggalkan syariah dianggap sesat, sebab tanpa mengamalkan hukum Tuhan secara baik, dan tuntas lewat amalan ibadah berarti tidak tunduk pada aturan Allah.[7]
                 Syariat merupakan hakikat itu sendiri, dan hakikat tidak lain adalah syariat itu sendiri. Keduanya adalah satu, tidak akan sempurna satu sisi tanpa sisi yang lain. Allah SWT., telah  menggabungkan keduanya, oleh karena itu suatu hal yang mustahil jika seseorang mau memisahkan sesuatu yang telah digabungkan oleh Allah SWT.[8]
b.      Thariqah yaitu jalan, cara, metode. Thariqah menurut sufi ialah perjalanan menuju Allah, dan dalam perjalanan tersebut di tempuh melalui suatu cara, atau melalui suatu jalan agar dengan Tuhan. Sebab meurut sufi tanpa suatu cara atau metode khusus yang di sebut thariqah akan sulit sampai pada tujuan. Maka di tetapkanlah ketentuan yang sifatnya batiniah, dengan melalui cara, metode setahap demi setahap yang dikenal dengan istilah  مقام.[9]
            Menurut sufi hidup ini penuh dengan rahasia, dan rahasia itu tertutup oleh tabirsebenarnya tabir itu adalah “hawa nafsu” kita sendiri. Tabir itu sebenarnya bisa tersingkap (terbuka) asal menempuh suatu cara (thariqah) lihat Al-Qur’an surah al-Jin ayat 16, yang artinya:
dan bahwasanya : Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam). Benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak) “[10]
Berdasarkan gambaran di atas, maka maqamat  itu merupakan satu sistem atau metode untuk mengenal dan merasakan adanya Tuhan atau melihat Tuhan dengan mata hati.
c.       Haqiqah diartikan sebagai kebenaran. Haqiqah biasa juga diartikan puncak, atau sumber segala sesuatu. Haqiqah menurut sufi merupakan rahasia yang paling dalam dari segala amal, dan merupakan inti dari syariah. Haqiqah di peroleh sebagai nikmat dan anugerah Tuhan berkat latihan yang dilakukan sufi. Dengan sampainya sufi ke tingkat haqiqah, berarti  telah terbukalah baginya rahasia yang ada dalam syariah, maka sufi dapat memahami  segala kebenaran. Atau dengan kata lain haqiqah adalah mengetahui inti yang paling penting dalam diri sesuatu sehingga  tidak ada yang tersembunyi baginya.[11]
Haqiqah tidak bias terlepas dari  syariah, dan bertalian erat dengan tariqah dan juga terdapat dalam ma’rifah. Dalam pandangan kaum sufi, makna hukum luar (syariah) harus utuh dan sinkron dengan makna hokum dalam (haqiqah), maka setiap manusia harus tunduk pada syariah sekaligus  tunduk pada realitas sebelah dalam (tariqah dan haqiqah), sebab manusia sendiri berada diantara dua ruang yaitu ruang fisik dan ruang ruhani.[12]
d.      Ma’rifah yaitu pengetahuan dan pengenalan. Sedangakan menurut kaum sufi berarti penghetahuan mengenai Tuhan melalui kalbu atau hati nurani. Pengertian tersebut sedemikian lengkapnya  sehingga jiwa seorang sufi sudah merasa bersatu dengan yang diketahuinya. Dikatakan oleh para sufi, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari melihat Tuhan. Inilah sebagai tujuan  utama dalam  ilmu tasawuf.[13]
Melihat gambaran dari syari’ah, tariqah, haqiqah, dan ma’rifah, maka dapat dikatakan bahwa ma’rifah hanya bias dicapai bila melalui syari’ah dan ditempuh berdasarkan tariqah lalu bisa memperolah haqiqah. Apabila syari’ah dan  tariqah  ini sudah dikuasai maka timbullah haqiqah lalu tercapailah tujuan yang diinginkan oleh sufi yaitu ma’rifah.
Menurut kaum sufi pengalaman syariah Islam tidaklah sempurna jika  tidak dikerjakan secara integrative dengan urutan-urutan sebagai berikut:
     Syari’ah merupakan peraturan
     Tariqah merupakan cara melakukan peraturan
     Haqiqah merupakan keadaan yang dirasakan setelah melaksanakan peraturan tersebut.
     Ma’rifah merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh sufi.[14]
Bila seseorang telah menjalani tariqah yang seimbang  dengan syariah lahir dan batin menuju pada puncak rahasia, maka tercapailah suatu kondisi mental yang dinamakan insan kamil atau waliyullah yaitu orang-orang yang  selalu dekat dengan Allah SWT., dan mendapat karunia-Nya sehingga melakukan perbuatab-perbuatan luar biasa yang dinamakan­ al-karamah.[15]
C. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.[16]
Tasawuf falsafi merupakan ajaran tasawuf yang memadukan antara visi mistis dengan  visi rasional.[17] Tasawuf falsafi berbeda dengan tasawuf akhlaki dan amali. Sebab tasawuf falsafi menggunakan term filsafat dalam  mengungkap ajarannya. Terminologi tersebut berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang  mempengaruhi tokoh-tokoh sufi. Dengan adanya term-term filsafat dalam tasawuf ini menyebabkan bercampurnya ajaran filsafat dan ajaran-ajaran dari luar  Islam seperti Yunani, India, Persia, Kristen dalam ajaran tasawuf Islam. Tetapi perlu diketahui  bahwa orisinalitas  tasawuf tetap ada dan tidak hilang. Sebab para sufi tersebut  menjaga kemandirian ajarannya.[18]
Walaupun tasawuf falsafi banyak menggunakan term filsafat, namun tidak  bisa dianggap sebagai filsafat. Sebab ajaran dan metodenya dipadukan pada rasa (zauq). Sebaliknya tidak dikategorikan sebagai tasawuf murni, sebab ajarannya sering diungkap  dalam bahasa  filsafat yang  sering cendrung   pada pantaisme.[19]
Contoh dari ajaran tasawuf yang bercorak filsafat antara lain seperti terlihat pada teori al-fana’, al-baqa’, dan al-ittihad dari Yazid Bustami, teori hulul dari Mansur al-Hallaj, dan teori wihdatul wujud dari Ibn Arabi.[20]
Dalam buku Pengantar Studi Islam, HM Amin Syukur (2000: 164) menerangkan bahwa tasawuf falsafiy yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yan telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang.
Sementara ada lagi yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni tasawuf akhlakiy, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Perlu dimaklumi pembagian ini hanya sebatas dalam kajian akademik, ketiganya tidak bisa dipisahkan secara dikotomik, tetapi dalam prakteknya ketiganya tidak bisa dipisahkan. (HM. Amin Syukur, 2002: 44)
2.2. Pembagian Tasawuf Modern
Peraturan tasawuf menampung perbedaan pandangan yang cukup lebar, dimana secara garis besar dibagi menjadi kelompok yang berbeda. Aturannya diperluas menjadi tasawuf modern dan tasawuf positif. Pembagian ini telah diperkenalkan akhir-akhir ini sebagai literatur pada pembelajaran tasawuf di Indonesia. Tasawuf jenis ini tidak lagi terikat dengan deskripsi dari praktek tarekat (kelompok sufi)[21]
Aturan tasawuf modern pertama kali diperkenalkan oleh Hamka pada pembelajaran dan praktek tasawuf di Indonesia. Dengan menggunakan aturan ini, Hamka mencoba untuk melepaskan konsep tasawuf dari konsep tarekat. Lebih jauh, dengan memperkenalkan peraturan ini, Hamka mengkritisi Muslim yang mempraktekkan tasawuf sebagai penghalang masalah keduniaan dan menganggap mereka sebagai makhluk tidak penting. Menurut Hamka, tasawuf harus dipahami sebagai arti sebenarnya, yakni sebagai metode untuk melepaskan kebiasaan yang buruk dan untuk menjadi pribadi yang terpuji dengan menyucikan diri, meningkatkan dan melatih status dari kepribadian manusia, meninggalkan keserakahan, dan keragu-raguan, serta untuk mengendalikan nafsu yang berlebihan dari seorang individu.
Terinspirasi oleh ide yang diambil dari al-Ghazali (tahun 1111), pada buku ihya’ Ulum al-din, Hamka mendesak Muslim untuk mendewasakan kehidupan spiritual dalam diri masing-masing, dalam bentuk religiusitas yang terlihat dari luar. Hamka mempertimbangkan  hal ini sebagai kebutuhan yang mendesak, yang utamanya harus dicapai dengan kedalaman emosi yang kaya dan kesetiaan. Berdasarkan  interpretasinya mengenai tasawuf, Hamka dianggap sebagai sebagai seseorang yang bertanggung jawab untuk mempopulerkan tasawuf untuk pendidikan menengah di perkotaan Indonesia.
Aturan lain yang diperkenalkan oleh pelajar Indonesia adalah tasawuf positif. Aturan ini menjadi populer dalam pelajaran di Indonesia, dengan dibarengi dengan meningkatnya ketertarikan muslim perkotaan dan muslim yang memiliki pandangan terbuka pada tasawuf. Hampir sama dengan ide dari tasawuf modern, konsep dari tasawuf positif memiliki tujuan untuk mempraktekkan tasawuf dengan menggunakan tanggung jawab pribadi secara lebih ketimbang dengan kebergantungan pada bimbingan murshid (Guru) dari tarekat tertentu.[22]
Tasawuf jenis ini menekankan upaya individu untuk mengupayakan sikap terpuji tanpa bergabung dengan tarekat tertentu. Beberapa orang yang berhasil memenangkan ide dari tasawuf positif secara aktif mempromosikan apa yang telah mereka dapatkan dalam mempraktekkan tasawuf tanpa tarekat. Sebagai gantinya, mereka dapat mempraktekkan dan mempelajari tasawuf dengan lebih bebas melalui kelas ataupun seminar, dan kelompok belajar agama sebagai yang dapat dibuktikan dengan organisasi perkotaan, seperti Yayasan Paramadina, Yayasan Tazkiyah, ICNIS (Intensive Course and Networking for Islamic Science), Pusat Pengembangan Tasawuf Positif dan Klinik Spiritual Islami, dan IiMAN (the Indonesian Islamic Media Network). Berdasarkan inisiator dari tasawuf positif, muslim dapat mempraktekkan tasawuf positif sejak banyak sarjana muslim yang telah aktif mempraktekkan dan memahami dengan baik cara untuk mengajarkan tasawuf meski mereka tidak pernah bergabung dengan tarekat.[23]
Aturan lain yang juga penting untuk memperdalam materi ini adalah tarekat. Aturan ini telah digunakan secara luas oleh Muslim di Indonesia sebagai acuan untuk mempraktekkan tasawuf pada beberapa ritual tertentu sebagai ‘yang diatur oleh para Sufi’. Berdasarkan tradisi dari pesantren, tarekat dibagi menjadi dua, tarekat ‘ammah (jalan umum), dan tarekat Khassah (jalan spesifik). Tarekat ‘ammah sendiri biasa dipraktekkan dengan berbuat baik. Sedangkan tarekat Khassah biasa dilakukan dengan berdzikir.
2.3. Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki
1.     Hasan Al-Bashri
Bernama lengkap Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar. Adalah seorang zahid yang amat mashyur di kalangan tabi’in. Ia lahir di Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada 110 H (728 H).
Ajaran-AjaranTasawufnya
Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut:
     Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik daripada rasa tenteram yang menimbulkan perasaan takut.
     Dunia adalah negeri tempat beramal. Barangsiapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Barangsiapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
    Tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya.
    Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggal mati suaminya.
    Orang yang beriman akan senantiasa berdukacita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
    Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, hari kiamat yang akan menagih janjinya.
    Banyak dukacita di dunia memperteguh semangat amal saleh.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar filsafat Islam menyatakan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Setelah di teliti, ternyata bukan perasaan takut yang mendasari tasawufnya tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari tasawufnya.





2.      Al-Muhasibi
Bernama lengkap Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Beliau lahir di Bashrah, Irak, tahun 165 H (781 M) dan meninggal tahun 243 H (857M).
Ajaran-Ajaran Tasawufnya
a.       Makrifat
Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan makrifat sebagai berikut:
·         Taat.
·         Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati.
·         Khazanah-khazanah keilmuan dan keghaiban kepda setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas.
·         Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
b.      Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Kahuf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah.
3.      Al-Ghazali
Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asyyafi’i Al-Ghazali. Beliau dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran tahun 450 H (1058 M).
Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Dalam tasawufnya Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah.
Menurut Al-Ghazali jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan diri dari moral yang tercela sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah SWT dan berhias dengan selalu mengingat Allah SWT.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang makrifat yaitu pendekatan diri kepada Allah SWT. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, makrifat menurut Al-Ghazali adalah diawali dalam bentuk latihan jiwa lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan dan keadaan. Al-Ghazali juga menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai pada makrifat yang membantu menciptakan (sa’adah).
4.      Al-Qusyairi
Bernama lengkap ‘Abdu Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur dan wafat tahun 465 H.

Ajaran-Ajaran Tasawufnya
  Mengembalikan tasawuf ke landasan Ahlussunnah.
·      Kesehatan batin.
·      Penyimpangan para sufi.[24]

B.     TASAWUF AMALI
Tokoh-Tokoh Tasawuf Amali
1)      Rabiah Al-Adawiah
Bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Lahir tahun 95 H (713 H) di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat tahun 185 H (801 M). Rabiah Al-Adawiah dalam perkembangan mistisisme dalam Islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berasaskan cinta kepada Allah SWT.
2)      Dzu Al-Nun Al-Mishri
Bernama lengkap Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Lahir di Ikhkim, daratan tinggi Mesir tahun 180 H (796 M) dan wafat tahun 246 H (856 M). Al-Mishri membedakan ma’rifat  menjadi dua yaitu ma’rifat sufiah adalah pendekatan menggunakan pendekatan qalb dan ma’rifat aqliyah adalah pendekatan yang menggunakan akal. Ma’rifat menurutnya sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab maa’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia.
3)      Abu Yazid Al-Bustami
Bernama lengkap Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Syarusan Al-Bustami. Lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 M dan wafat tahun 947 M. Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana dan baqa. Dalam istilah tasawuf, fana diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dan fana berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.
4)      Abu Manshur Al-Hallaj
Bernama lengkap Abu Al-Mughist Al-Husain bin Mashur bin Muhammad Al-Baidhawi. Lahir di Baida sebuah kota kecil di daerah Persia tahun 244 H (855 M). Diantara ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah Al-Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdad al-wujud (kesatuan wujud) yang di kembangkan Ibnu Arabi.
C.    TASAWUF FALSAFI
 Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi
      1)      Ibnu Arabi
       Bernama lengkap Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami. Lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol tahun 560 M. Di antara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makiyyah yang di tulis tahun 1201, dan masih banyak karya lainnya.
Ajaran-Ajaran Tasawufnya
a)      Wahdat Al Wujud
Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdat al-wujusd (kesatuan wujud). Menurut Ibnu Arabi wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khaliq.
b)      Haqiqah Muhammadiyyah
      Ibnu Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan dari ajaran Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, wujud tuhan sebagai wujud mutlak yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apapun. Kedua, wujud Haqiqah Muhammadiyyah sebagai emansi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya.
c)      Wahdatul Adyan
Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibnu Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyyah. Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah.

      2)      Al-Jili
Bernama lengkap ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Lahir pada tahun 1365 M di Jilan (Gilan) sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspi dan wafat tahun 1417 M.
Ajaran-Ajaran Tasawufnya
a.       Insan Kamil
Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya sendiri, kecuali melalui cermin itu.
b.      Maqamat (Al-Martabah)
Al-Jili merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah: islam, iman, shalah, ihsan, syahadah, shiddiqiyah, dan qurbah.[25]
      3)     Ibnu Sab’in
Bernama lengkap ‘Abdul Haqq Ibnu Ibrahim Muhammad Ibnu Nashr, ia dilahirkan tahun 614 H (1217-1218 M) di kawasan Murcia.
Ajaran-Ajaran Tasawufnya
a)            Kesatuan Mutlak
Ibnu Sab’in adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosof, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata.
      b)     Penolakan Terhadap Logika Arisotelian
Paham Ibnu Sab’in tentang kesatuan mutlak telah mebuatnya menolak logika Aristotelian. Oleh karena it dalam karyanya “Budd Al-‘Arif” ia berusaha menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif, sebagai pengganti logika yang berdasarkan pada konsepsi jamak. Ibnu Sab’in berpendapat bahwa logika barunya tersebut, yang dia sebut juga dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan penalaran, tetapi termasuk penalaran Ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun mendengar apa yang belum di dengarnya.








BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada dua jenis dalam pembagian tasawuf. Pembagian tasawuf secara umum dibagi menjadi 3 yaitu tasawuf akhlaqy, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi. Sedangkan pembagian tasawuf secara modern dapat dibagi menjadi 2 yaitu tasawuf positif dan tasawuf modern.
Adapun tokoh-tokoh tasawuf, yaitu tasawuf akhlaqy antara lain Hasan Al-Basri, Al Muhasibi, Al Qusyairy yang memiliki pemikiran masing-masing dalam ajarannya.
3.2. Saran
            Makalah selanjutnya dapat membahas secara rinci masing-masing bagian dari Tasawuf untuk lebih memahami ajaran para tokohnya.












DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihun. 2011. Akhlak Tasawuf.
Asmaran AS, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahnya, 1978
Hamka, Tasawuf Dari Masa ke Masa, Jakarta: Pustaka Islam, 1960
Ibrahim, Muhammd Zaki,  Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002)
Kalsum, Ummu,  Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002)
Siregar, H. A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Solihin, Muhammad. 2011. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.



[1] Asmaran AS, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994, h. 46

[2] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.52.
[3] Anwar ,Rosihan.Solihin, Mukhtar. 2006.Ilmu Tasawuf.Bandung:CV PUSTAKA SETIA
[4] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002), h.47-48.

[5] Jamil.2007.Cakrawala Tasawuf.Jakarta:GP.Press

[6] Ummu Kalsum, op. cit., h.53
[7] Muhammd Zaki Ibrahim, Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002), h. 145.
[8] Ibid, h. 146.
[9] Ummu Kalsum, op. cit., h. 54.
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahnya, 1978, h. 985
[11] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, h. 55.
[12] Fadhalalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000, h. 97.
[13] Ummu Kalsum, op. cit., h. 56

[14] Ibid. h. 57
[15] Ibid.
[16] Sireger,Rivay.2002.Tasawuf(dari sufisme Klasik ke Neo Sufisme.Jakarta:Rajawali après
[17] Hamka, Tasawuf Dari Masa ke Masa, Jakarta: Pustaka Islam, 1960, h. 102.
[18] Asmaran AS, op. cit., h. 194
[19] Ibid, h. 150
[20] Ummu Kalsum, op. cit., h. 60
[21] Zamhari, Arif.2010.Rituals of Islamic Spirituality A Study of Majlis Dhikir Groups in East Java.Canberra:The Australian National University E Press

[22] Ibid h.78-80
[23] ibid
[24] M. Solihin, Ilmu Tasawuf, CV Pustaka Setia, 2011, hlm. 122-135.
[25] Rosihun Anwar, Akhlak Tasawuf, CV Pustaka Setia, 2011, hlm.184-192.

Comments

Popular posts from this blog

pengertian akhlak secara epistemologi dan terminologi dan kaitannya dengan etika, moral, kesusilaan atau kesopanan

pembagian tasawuf dan tokoh-tokohnya